Rabu, 09 Februari 2011

Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan Kita

1 Februari, 2011
 
Oleh Sumarno
Aktivis Koalisi Pendidikan

Para pakar pendidikan lebih awal memberi peringatan perlunya pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Peringatan tersebut disampaikan atas dasar kegalauan melihat realitas kehidupan yang terindikasi terjadinya degradasi moral. Merosotnya mental kolektif masyarakat berpengaruh terhadap jatuhnya wibawa sebagai bangsa di mata bangsa-bangsa lain. Dan terbukti, dalam berbagai hal, bangsa Indonesia tak bisa tampil di kancah internasional dengan kepala tegak.

Peringatan para pakar pendidikan itu direspons positif oleh pemerintah dengan merencanakan penerapan pendidikan karakter yang pelaksanaannya terintegrasi pada semua mata pelajaran di sekolah. Tidak kurang Kementerian Pendidikan Nasional di antaranya menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuat kurikulum pendidikan karakter antikorupsi, yang mulai diterapkan pada 2011. Selain pendidikan antikorupsi, pendidikan tanggap bencana dan pendidikan tertib berlalu lintas diterapkan.

Diakui, banyak faktor mempengaruhi merosotnya nilai-nilai moralitas dalam tata kehidupan kolektif sebagai bangsa. Faktor internal adalah terjadinya perubahan sistem politik pascareformasi menimbulkan euforia politik berlebihan. Kebebasan berdemokrasi nyaris tanpa batas, sampai mengabaikan nilai-nilai etika.

Adapun faktor eksternal adalah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat arus informasi begitu deras. Nyaris tak ada lagi filter untuk memilih dan memilah. Norma-norma agama atau budaya nyaris tak mampu membendung informasi yang mendorong terjadinya degradasi moral. Apalagi norma hukum dan peraturan perundang-undangan mudah dibongkar-pasang, didekonstruksi dan direkonstruksi sesuai dengan kepentingan tertentu.
Menetapkan lembaga pendidikan menjadi “bengkel” bagi perbaikan moralitas bangsa bukan suatu hal yang salah. Keyakinan lembaga pendidikan adalah pilihan tepat sebagai garda terdepan pembentukan karakter bangsa, karena ia telah terbukti sangat kondusif untuk melaksanakan pembinaan sumber daya manusia.
Pendidikan dituntut berperan efektif sebagai agen perubahan. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya pengamalan nilai secara nyata. Kalau selama ini pendidikan kurang berhasil membentuk karakter bangsa, mungkin karena konsep yang keliru dan patut dievaluasi demi perbaikan.

Keteladanan pemimpin
Pemimpin formal, di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, bagaimanapun merupakan figur-figur yang harus menjadi teladan bagi masyarakat. Namun penerapan pendidikan karakter belum juga direalisasi kepada peserta didik, diempas badai polemik yang kontra dengan prinsip pendidikan karakter di sekitar para pemimpin. Para tokoh lintas agama bukan lagi memberi warning, melainkan mengeluarkan pernyataan sangat menyentak, bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan kebohongan terhadap publik. Dalam penutupan rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI (21 Januari 2011), Presiden SBY mengungkapkan soal gaji presiden yang selama tujuh tahun belum naik. Apa pun motivasinya, yang jelas hal itu menimbulkan polemik baru di tengah masyarakat. Tak cukup itu, beredarnya buku serial SBY di sejumlah sekolah menengah pertama di Tegal memancing kontroversi. Banyak kalangan menilai itu semua sebagai sesuatu yang tak elok dilakukan pemimpin. Sebab, pemimpin adalah teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Kegaduhan yang timbul karena ulah para pemimpin berpotensi melemahkan upaya penerapan pendidikan karakter. Ibarat pepatah, pendidikan karakter yang hendak dibangun layu sebelum berkembang. Kejadian semacam ini membuat miris, upaya mengutamakan sektor pendidikan dengan mengalokasikan anggaran 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara, tapi tidak diimbangi keteladanan para pengelolanya.

Jungkir balik
Sorotan negatif dan kritik terhadap pucuk pimpinan negeri yang merebak akhir-akhir ini merupakan puncak dari gunung es. Di dalamnya jauh lebih karut-marut. Jungkir balik tatanan nilai diawali oleh kekaburan visi, yang kemudian membentuk sebuah masyarakat dan struktur pendidikan yang lemah untuk menanamkan nilai-nilai moralitas.

Beratnya menerapkan pendidikan karakter dewasa ini, Doni Koesoema A. (2009) menyebut yang sekaligus merupakan judul bukunya, yaitu Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger. Siswa yang dulu menghargai nilai-nilai, kini telah bergeser. Fenomena budaya instan yang semua ingin serba praktis menggeser tatanan yang selama ini mampu membentuk karakter. Upaya jalan pintas yang menerabas norma-norma masuk ke berbagai sendi kehidupan, tak terkecuali di dunia pendidikan.

Kecurangan dalam ujian nasional dan kasus tindak korupsi di berbagai lembaga yang melibatkan oknum-oknum pejabat adalah contoh nyata bergesernya tatanan nilai. Orang merasa malu seperti bukan zamannya lagi. Pemimpin nasional yang diharapkan mau dan mampu memprakarsai perbaikan turut larut dalam hiruk-pikuk pola-pola instan. Lebih suka mengedepankan politik pencitraan pada saat bangsa membutuhkan penanganan serius dan tepat.

Kondisi sedemikian itu mengingatkan peristiwa pada 1998. Lengsernya Presiden Soeharto oleh gerakan mahasiswa melahirkan pemeo bernada satir, menggambarkan sebuah siklus. Mahasiswa takut kepada dosen, dosen takut kepada rektor, rektor takut kepada menteri, menteri takut kepada presiden, dan presiden takut kepada mahasiswa. Jangan-jangan siklus itu bakal terulang dalam waktu tak lama lagi, walaupun dalam bentuk berbeda. Sementara pada 1998 gerakan dengan cara langsung turun ke jalan, kini melalui jejaring sosial. Mesir dan Tunisia adalah negara yang sedang mengalaminya.

Namun maksud pendidikan sebagai agen perubahan bukan seperti terjadi selama ini yang tergambar dalam pemeo di atas. Membuat masyarakat terkotak-kotak bukan hanya dilakukan oleh partai politik, tapi juga oleh kaum intelektual persis angkatan dalam sastra, mengatasnamakan angkatan 66, angkatan 74, dan angkatan 98. Ironisnya, hal semacam itu menjadi kebanggaan tapi miskin konsep untuk pembangunan bangsa jauh ke depan.

Pendidikan sebagai agen perubahan adalah melalui proses yang sistematis dan terencana guna peningkatan kualitas sumber daya manusia berkarakter, sehingga mereka mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dan melahirkan peradaban baru yang lebih bermartabat. Pemimpin harus bertekad mengambil inisiatif memprakarsai gerakan pendidikan karakter secara riil, melalui keteladanan. Bukan sekadar retorika dan topeng pencitraan.
(Sumber: Koran Tempo, 1 Februari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar