Rabu, 09 Februari 2011

Tertinggalnya Kesenian Tradisional

Forum

Oleh Sumarno
Tahun 1997 merupakan awal krisis di segala bidang. Diawali krisis ekonomi, disusul krisis kepercayaan dan krisis kepemimpinan nasional yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto karena gerakan mahasiswa 1998.

Tahun 1997 tak terkecuali, krisis melanda dunia seni. Terutama seni yang berbasis idealisme dan tak bisa menembus pangsa pasar. Teater RSPD yang pernah menjadi penggerak aktivitas teater di Tegal, sejak 1997 tak pernah lagi menggelar pentas di luar Tegal (Kompas, 14/3). Di Yogyakarta lebih memprihatinkan, ratusan dalang menganggur, tidak ada job pementasan. Menyusutnya jumlah tanggapan wayang juga mulai terasa tahun 1997 (Kompas, 15/3).

Vakumnya pementasan teater dan sepinya tanggapan wayang adalah fenomena krisis kesenian yang tidak bisa membiayai dirinya sendiri. Asumsi yang pertama muncul bisa ditebak, faktor ekonomi dituding sebagai penyebab. Kedua, kesenian tradisional seperti wayang telah ditinggalkan penggemarnya. Kaum muda lebih suka kesenian pop, band adalah contohnya.

Namun, melihat hal ini tidak sesederhana itu. Lihat saja setelah bergulir reformasi, terutama sejak masa Presiden KH Abdurrahman Wahid, dibuka kebebasan berekspresi seluas-luasnya, tak terkecuali memberi ruang lebih luas bagi etnis Tionghoa. Kesenian barongsai yang juga merupakan kesenian tradisional berkembang pesat dan mampu mendapat tempat bergengsi dengan pentas di mal-mal diikuti sambutan publik antusias.

Sebaliknya, memasuki era reformasi, pamor kesenian wayang kulit makin redup. Frekuensi pentas terus menurun.
Faktor ekonomi bukan penyebab satu-satunya. Karya seni tradisional asli dari daerah-daerah di Indonesia seperti tak bertuan. Batik, reog, angklung, lagu, dan tari adalah sederet karya seni yang pernah diklaim Malaysia. Ini mengindikasikan bahwa kita sebagai bangsa dan terutama para pemimpin kurang menaruh kepedulian terhadap kesenian tradisional. Kepedulian itu bahkan nyaris tak ada sama sekali.

Landasan ideologi
Terlepas dari kejelekan kepemimpinan Soeharto, kepeduliannya terhadap seni tradisional, terutama wayang kulit, sangat tinggi. Setiap ulang tahun departemen, TVRI, RRI, atau instansi lain kerap menanggap wayang kulit. Bahkan, wayang bukan hanya untuk dipentaskan, tetapi betul-betul dihayati. Di ruang kantor maupun rumah dihiasi dekorasi bermotif wayang. Cerita kisah pewayangan menjadi panduan mengelola negara. Setidaknya menunjukkan memiliki landasan ideologi muatan lokal.

Faktor kepedulian pemimpin sangat memengaruhi eksistensi kesenian tradisional. Maraknya seni barongsai beraksi di mal-mal karena kaum Taipan banyak menguasai sektor bisnis di Indonesia, termasuk pusat-pusat perbelanjaan modern.

Di era reformasi pemimpin kita lebih banyak bermanufer politik. Kalaupun minat pada seni, seni yang diminati adalah seni pop yang mengharu biru massa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih tertarik mencipta lagu pop, selebihnya nonton film dan jazz. Nonton bukan hal yang salah sebagai bentuk apresiasi. Namun, kalau kesenian tradisional seperti wayang jarang ditengok, hal ini akan makin menjauhkannya dari masyarakat.

Untuk bangsa patronisme, peran pemimpin sebagai teladan dalam pelestarian seni tradisional sangat penting.
Kalau tahun 1997 ditengarai sebagai awal krisis multidimensi yang membuat krisis ekonomi dan krisis kepemimpinan pulih, kenapa krisis kesenian tradisional tidak kunjung pulih? Apakah memang bangsa ini telah mengalami metamorfosis? Kalau iya, berubah wujud rupa? Bergeser dari wujud awalnya?

Kita kadang gampang terkecoh apa yang kita tidak kuasai. Padahal, tak kurang bangsa-bangsa Asia patut dijadikan contoh untuk kemajuan di banyak bidang tanpa meninggalkan tradisi. Jepang, China, dan India adalah bangsa yang mencapai kemajuan di bidang teknologi, ekonomi, atau demokrasi, tetapi tetap berpegang teguh pada tradisi.

Anehnya lagi, tak sedikit orang Barat belajar karawitan dan wayang. Namun, generasi kita enggan mempelajarinya. Seolah kita tidak bisa membedakan antara modernisasi dan Westernisasi. Bangsa tak pandai menentukan orientasi. Pantas, jika pulihnya perekonomian pun lebih lambat dibanding negera-negara yang sama-sama mengalami krisis.

Akhirnya, terasa juga sebagai bangsa yang kurang menghargai budaya sendiri adalah bangsa yang rapuh, tak memiliki jati diri, gampang goyah. Beberapa waktu lalu sering dilecehkan bangsa lain.

Sungguh miris, kalau dalang (mudal piwulang) yang dihormati dan disegani beralih profesi menjadi petani, atau blantik. Inilah dampak kurangnya kepedulian kita atas kesenian tradisional yang sarat nilai- nilai filosofis, seperti sering diuraikan oleh para dalang. Pelestarian kesenian tradisional harus dimulai dari kepedulian para pemimpin.

SUMARNO Warga Tegal, Jawa Tengah, Pemerhati Masalah Sosial Budaya, Tinggal di Tegal dan Tangeran

Politisasi Pendidikan lewat Buku

Wacana

29 Januari 2011
  • Oleh Sumarno
BEBERAPA hari terakhir Kabupaten Tegal dihebohkan pemberitaan peredaran buku Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di beberapa SMP. Beredarnya buku-buku itu menimbulkan polemik, tidak hanya di tingkat lokal tetapi juga menasional.

Seperti diberitakan sejumlah media massa, buku seri biografi Presiden SBY yang beredar ada 10 judul. Di antaranya Merangkai Kata Menguntai Nada yang membahas hobi menyanyi Presiden, Adil Tanpa Pandang Bulu mengenai pemberantasan korupsi dan terorisme, kemudian Peduli Kemiskinan mengenai kebijakan menekan angka kemiskinan, serta Jendela Hati dan Indahnya Negeri Tanpa Kekerasan yang mengupas kebijakan SBY meredam konflik Aceh. Buku seri ’’Lebih Dekat dengan SBY’’ di antaranya berjudul Susilo Bambang Yudhoyono, Bintang Lembah Tidar, dan Surat untuk Ibu Negara.

Hebohnya peredaran buku tersebut karena menyangkut dua hal,  pertama; terkait dengan sumber dana. Pengadaan buku itu dibiayai dengan dana yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK). Menyangkut uang adalah persoalan sensitif, apalagi di tengah belitan masalah korupsi saat ini. Presiden SBY yang berjanji berdiri pada barisan paling depan dalam memberantas korupsi belum menampakkan keseriusan. Alih-alih memberantas korupsi, dia malah terkesan sibuk melakukan pencitraan. Beredarnya buku-buku itu dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk politik pencitraan.

Kedua; menyangkut peran dan fungsi lembaga pendidikan. Sekolah dikenal dengan wiyata mandala (lingkungan pendidikan). Mengandung arti bahwa sekolah mempunyai tugas dan fungsi untuk menyelenggarakan proses atau kegiatan pendidikan.

Secara formal, wawasan wiyata mandala pernah dikukuhkan dalam Surat Dirjen Dikdasmen Nomor 13090/CI.84 tanggal 1 Oktober 1984 sebagai sarana ketahanan sekolah.

Wawasan wiyata mandala merupakan konsepsi atau cara pandang bahwa sekolah adalah lingkungan atau kawasan penyelenggaraan pendidikan, dan tidak boleh digunakan untuk tujuan lain. Adapun tujuan pendidikan nasional termaktub dalam Pasal 3 UU Sisdiknas, yang menyiratkan sekolah tidak semestinya dicampuri urusan di luar urusan pendidikan, misalkan, urusan politik maupun bisnis.

Politisasi Pendidikan

Beredarnya buku-buku soal SBY di sekolah ditengarai sebagai satu bentuk politik pencitraan dan tak sesuai dengan konsep wawasan wiyata mandala. Apalagi beredar di tingkat SMP yang siswanya masih tergolong anak-anak walaupun buku itu dinilai bagus dan melalui proses seleksi oleh tim independen di Pusat Perbukuan Kemendiknas.

Politisasi pendidikan melalui buku bukan berlangsung kali ini. Pada masa pemerintahan Soeharto, buku berjudul Tiga Puluh Tahun Indonesia Merdeka beredar di sekolah-sekolah. Walaupun tidak dibagikan kepada siswa, materi itu menjadi buku penunjang pengajaran bagi guru. Melalui mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) waktu itu, buku tersebut sangat cocok.

Upaya politisasi pendidikan melalui buku bukan semata untuk merebut simpati masyarakat manakala seorang pemimpin akan mencalonkan kembali melainkan pula guna melegitimasi kekuasaan. Setiap rezim pada dasarnya berkepentingan melestarikan kekuasaannya. Dalam  rangka inilah mereka (para penguasa) selalu berusaha memanfaatkan wacana resmi negara untuk menjaga legitimasi kekuasaan yang sedang berlangsung dan sebaliknya mendelegetimasi pihak-pihak yang menghendaki perubahan (Agus Sudibyo: 2001).

Hebohnya peredaran buku-buku tentang SBY adalah hal wajar. Mengacu teori Agus Sudibyo, dan sesuai beberapa pihak yang menyinyalir, bahwa dengan buku SBY berusaha melegitimasi kekuasaannya. Memanfaatkan lembaga pendidikan dengan membelokkan fungsinya sebagai agen perubahan (agent of change), dan menjadikan sarana kekuasaan.

Kejadian semacam itu sebenarnya dapat dikontrol jika lembaga-lembaga yang berwenang berperan optimal. Di tingkat sekolah ada komite sekolah, di tingkat kabupaten/kota ada dewan pendidikan. Kenyataannya, lembaga-lembaga pengontrol pendidikan tersebut belum menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. (10)

— Sumarno, Sekretaris Persatuan Guru Swasta Banten, tinggal di Tangerang Banten

Pendidikan Karakter dan Kepemimpinan Kita

1 Februari, 2011
 
Oleh Sumarno
Aktivis Koalisi Pendidikan

Para pakar pendidikan lebih awal memberi peringatan perlunya pendidikan karakter di sekolah-sekolah. Peringatan tersebut disampaikan atas dasar kegalauan melihat realitas kehidupan yang terindikasi terjadinya degradasi moral. Merosotnya mental kolektif masyarakat berpengaruh terhadap jatuhnya wibawa sebagai bangsa di mata bangsa-bangsa lain. Dan terbukti, dalam berbagai hal, bangsa Indonesia tak bisa tampil di kancah internasional dengan kepala tegak.

Peringatan para pakar pendidikan itu direspons positif oleh pemerintah dengan merencanakan penerapan pendidikan karakter yang pelaksanaannya terintegrasi pada semua mata pelajaran di sekolah. Tidak kurang Kementerian Pendidikan Nasional di antaranya menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membuat kurikulum pendidikan karakter antikorupsi, yang mulai diterapkan pada 2011. Selain pendidikan antikorupsi, pendidikan tanggap bencana dan pendidikan tertib berlalu lintas diterapkan.

Diakui, banyak faktor mempengaruhi merosotnya nilai-nilai moralitas dalam tata kehidupan kolektif sebagai bangsa. Faktor internal adalah terjadinya perubahan sistem politik pascareformasi menimbulkan euforia politik berlebihan. Kebebasan berdemokrasi nyaris tanpa batas, sampai mengabaikan nilai-nilai etika.

Adapun faktor eksternal adalah pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat arus informasi begitu deras. Nyaris tak ada lagi filter untuk memilih dan memilah. Norma-norma agama atau budaya nyaris tak mampu membendung informasi yang mendorong terjadinya degradasi moral. Apalagi norma hukum dan peraturan perundang-undangan mudah dibongkar-pasang, didekonstruksi dan direkonstruksi sesuai dengan kepentingan tertentu.
Menetapkan lembaga pendidikan menjadi “bengkel” bagi perbaikan moralitas bangsa bukan suatu hal yang salah. Keyakinan lembaga pendidikan adalah pilihan tepat sebagai garda terdepan pembentukan karakter bangsa, karena ia telah terbukti sangat kondusif untuk melaksanakan pembinaan sumber daya manusia.
Pendidikan dituntut berperan efektif sebagai agen perubahan. Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya pengamalan nilai secara nyata. Kalau selama ini pendidikan kurang berhasil membentuk karakter bangsa, mungkin karena konsep yang keliru dan patut dievaluasi demi perbaikan.

Keteladanan pemimpin
Pemimpin formal, di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, bagaimanapun merupakan figur-figur yang harus menjadi teladan bagi masyarakat. Namun penerapan pendidikan karakter belum juga direalisasi kepada peserta didik, diempas badai polemik yang kontra dengan prinsip pendidikan karakter di sekitar para pemimpin. Para tokoh lintas agama bukan lagi memberi warning, melainkan mengeluarkan pernyataan sangat menyentak, bahwa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah melakukan kebohongan terhadap publik. Dalam penutupan rapat pimpinan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI (21 Januari 2011), Presiden SBY mengungkapkan soal gaji presiden yang selama tujuh tahun belum naik. Apa pun motivasinya, yang jelas hal itu menimbulkan polemik baru di tengah masyarakat. Tak cukup itu, beredarnya buku serial SBY di sejumlah sekolah menengah pertama di Tegal memancing kontroversi. Banyak kalangan menilai itu semua sebagai sesuatu yang tak elok dilakukan pemimpin. Sebab, pemimpin adalah teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.

Kegaduhan yang timbul karena ulah para pemimpin berpotensi melemahkan upaya penerapan pendidikan karakter. Ibarat pepatah, pendidikan karakter yang hendak dibangun layu sebelum berkembang. Kejadian semacam ini membuat miris, upaya mengutamakan sektor pendidikan dengan mengalokasikan anggaran 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara, tapi tidak diimbangi keteladanan para pengelolanya.

Jungkir balik
Sorotan negatif dan kritik terhadap pucuk pimpinan negeri yang merebak akhir-akhir ini merupakan puncak dari gunung es. Di dalamnya jauh lebih karut-marut. Jungkir balik tatanan nilai diawali oleh kekaburan visi, yang kemudian membentuk sebuah masyarakat dan struktur pendidikan yang lemah untuk menanamkan nilai-nilai moralitas.

Beratnya menerapkan pendidikan karakter dewasa ini, Doni Koesoema A. (2009) menyebut yang sekaligus merupakan judul bukunya, yaitu Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger. Siswa yang dulu menghargai nilai-nilai, kini telah bergeser. Fenomena budaya instan yang semua ingin serba praktis menggeser tatanan yang selama ini mampu membentuk karakter. Upaya jalan pintas yang menerabas norma-norma masuk ke berbagai sendi kehidupan, tak terkecuali di dunia pendidikan.

Kecurangan dalam ujian nasional dan kasus tindak korupsi di berbagai lembaga yang melibatkan oknum-oknum pejabat adalah contoh nyata bergesernya tatanan nilai. Orang merasa malu seperti bukan zamannya lagi. Pemimpin nasional yang diharapkan mau dan mampu memprakarsai perbaikan turut larut dalam hiruk-pikuk pola-pola instan. Lebih suka mengedepankan politik pencitraan pada saat bangsa membutuhkan penanganan serius dan tepat.

Kondisi sedemikian itu mengingatkan peristiwa pada 1998. Lengsernya Presiden Soeharto oleh gerakan mahasiswa melahirkan pemeo bernada satir, menggambarkan sebuah siklus. Mahasiswa takut kepada dosen, dosen takut kepada rektor, rektor takut kepada menteri, menteri takut kepada presiden, dan presiden takut kepada mahasiswa. Jangan-jangan siklus itu bakal terulang dalam waktu tak lama lagi, walaupun dalam bentuk berbeda. Sementara pada 1998 gerakan dengan cara langsung turun ke jalan, kini melalui jejaring sosial. Mesir dan Tunisia adalah negara yang sedang mengalaminya.

Namun maksud pendidikan sebagai agen perubahan bukan seperti terjadi selama ini yang tergambar dalam pemeo di atas. Membuat masyarakat terkotak-kotak bukan hanya dilakukan oleh partai politik, tapi juga oleh kaum intelektual persis angkatan dalam sastra, mengatasnamakan angkatan 66, angkatan 74, dan angkatan 98. Ironisnya, hal semacam itu menjadi kebanggaan tapi miskin konsep untuk pembangunan bangsa jauh ke depan.

Pendidikan sebagai agen perubahan adalah melalui proses yang sistematis dan terencana guna peningkatan kualitas sumber daya manusia berkarakter, sehingga mereka mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dan melahirkan peradaban baru yang lebih bermartabat. Pemimpin harus bertekad mengambil inisiatif memprakarsai gerakan pendidikan karakter secara riil, melalui keteladanan. Bukan sekadar retorika dan topeng pencitraan.
(Sumber: Koran Tempo, 1 Februari 2011)

Selasa, 08 Februari 2011

Imperialisme Bahasa dalam Sepak Bola

Opini

  • Sumarno,
    AKTIVIS KOALISI PENDIDIKAN Sepak bola mampu membangkitkan semangat nasionalisme. Antusiasme masyarakat dalam mendukung tim nasional selama laga Piala ASEAN Football Federation (AFF) 2010 menunjukkan bentuk nasionalisme di saat bangsa tanpa memiliki suatu kebanggaan.

    Euforia masyarakat Indonesia mendukung timnas pada Piala AFF masih diwarnai oleh hal-hal kontroversi. Pertama, masalah kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, induk organisasi sepak bola nasional. Kedua, soal naturalisasi beberapa pemain asing. Dua hal yang bersinggungan dengan persatuan dan kesatuan serta nasionalisme bangsa.

    Namun ada satu hal yang terlupakan dan seolah tidak disadari, yaitu mengenai bahasa. Persoalan bahasa tercecer di kancah persepakbolaan nasional. Lalu apakah hubungannya antara bahasa dan sepak bola? Indonesia, di samping memiliki kekayaan budaya, di antaranya berupa keanekaragaman bahasa daerah, mempunyai bahasa nasional yang merupakan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia. Selain fungsi utamanya sebagai sarana komunikasi, sebagaimana sepak bola, bahasa nasional merupakan pemersatu dan simbol nasionalisme bangsa. Tentu di samping simbol-simbol lain.

    Bahasa juga merupakan bentuk kebudayaan sebagai cermin jati diri bangsa. Kenyataannya, dalam kancah persepakbolaan nasional bukan hanya dibanjiri oleh pelatih dan pemain asing, tapi banyak pula menggunakan istilah asing, terutama bahasa Inggris. Penggunaan istilah atau bahasa asing baik oleh penyelenggara, media massa yang meliput, kelompok suporter, maupun tim-tim sepak bola itu sendiri. Sebuah televisi swasta yang berlangganan menyiarkan pertandingan Liga Super Indonesia (LSI), misalnya, walaupun siarannya berbahasa Indonesia, pembawa acaranya selalu menyebut pelatih dengan istilah coach.

    Musim kompetisi 2010/2011, di Indonesia setidaknya terdapat tiga kompetisi sepak bola berskala nasional, yakni Divisi Utama Liga Indonesia, LSI, dan Liga Primer Indonesia (LPI). Jika mencermati nama-nama klub sepak bola peserta pada ketiga kompetisi itu, dari 39 klub dalam Divisi Utama Liga Indonesia semua menggunakan bahasa Indonesia. Dari 18 klub LSI, dua di antaranya menggunakan istilah asing atau bahasa Inggris, yakni Sriwijaya Football Club dan Bontang Football Club. Football club biasa disingkat FC.
    Adapun di LPI lebih banyak lagi. Dari 19 klub peserta kompetisi, 10 di antaranya menggunakan nama bahasa asing. Kesepuluh klub sepak bola itu adalah Aceh United, Bali Devata, Bandung FC, Batavia Union, Cendrawasih FC, Ksatria XI Solo FC, Manado United, Medan Chiefs, Real Mataram, Semarang United, dan Tangerang Wolves.

    LPI disebut-sebut kompetisi yang dikelola lebih profesional daripada dua kompetisi nasional lainnya dan punya kumpulan klub yang lebih profesional pula. Sudah menjadi anggapan umum bahwa yang berbau asing dianggap lebih hebat, lebih profesional. Penggunaan istilah asing dianggap lebih membanggakan dibanding istilah dalam bahasa Indonesia.

    Ada pendapat; kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme sebagai penyebab suatu bahasa bisa mendunia. Pendapat tersebut sesuai dengan fakta sejarah bahwa negara seperti Jerman, Jepang, Prancis, dan Inggris adalah negara-negara yang terlibat dalam Perang Dunia II dan mereka melakukan ekspansi atau penyerangan terhadap beberapa negara lain.

    Dalam kajian tentang bahasa, bahasa itu sendiri bukan domain dari faktor-faktor lain, melainkan faktor yang berdiri sendiri, sehingga timbul istilah imperialisme linguistik. Dalam bukunya, Linguistic Imperialism, Giles dan Middleton (1999) mendefinisikan imperialisme linguistik sebagai suatu bentuk kolonialisme yang terjadi melalui media bahasa, ketika bahasa mayoritas menjajah bahasa minoritas.

    Dampak imperialisme linguistik sangat hebat, terutama bahasa Inggris memegang hegemoni dunia dewasa ini. Pemerintahan Soeharto pada suatu saat pernah melarang pemberian nama perusahaan atau kompleks perumahan menggunakan bahasa asing. Akibatnya, terjadi upaya penggantian papan nama di setiap perusahaan atau perumahan. Misalnya perumahan Modern Land diganti menjadi Kota Modern, bukan Tanah Modern atau Daratan Modern. Kata "modern", jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II cetakan kesepuluh (1999), memiliki padanan, yaitu terbaru atau mutakhir.

    Namun kini, karena tidak ada pelarangan penggunaan bahasa asing, penggunaan bahasa Inggris masuk ke berbagai lini. Nama perusahaan, gedung-gedung perkantoran, perumahan, pusat belanja, hotel, dan restoran nyaris semua menggunakan bahasa Inggris. Tak terkecuali dalam dunia sepak bola, seperti nama-nama klub sepak bola nasional di berbagai daerah yang tersebut di atas.

    Bukan sekadar nama
    Bukan hanya nama, penggunaan bahasa Inggris merambah pada aktivitas di dalamnya. Di restoran, daftar menu yang disodorkan menggunakan bahasa Inggris. Kalau menyebut menu asing mungkin maklum, bisa jadi tidak ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Untuk menyebut jenis minuman yang sudah familiar di kalangan masyarakat Indonesia pun menggunakan bahasa Inggris.

    Demikian pula dalam persepakbolaan nasional. Tendangan pojok atau tendangan penjuru di Indonesia sering disebut dengan corner kick, tendangan bebas dengan istilah free kick, pelatih biasa disebut coach. Memang, tak beda dengan seni, olahraga, khususnya sepak bola, bersifat universal, mampu menembus batas wilayah dan sekat-sekat perbedaan suku bangsa, ras, dan agama.

    Dalam sejarahnya, sepak bola mampu mempertemukan berbagai bangsa dalam suatu event yang besar. Namun, manakala nama-nama klub sepak bola yang notabene klub daerah yang lahir di wilayah Indonesia beramai-ramai menggunakan bahasa asing, sesungguhnya mereka telah terjebak dalam imperialisme bahasa. Imperialisme bahasa telah merasuk ke berbagai sendi kehidupan, dari politik, ekonomi, pendidikan, sampai olahraga sepak bola.

    Sepak bola di Tanah Air dikenal sebagai olahraga paling merakyat, digandrungi masyarakat dari anak-anak hingga orang dewasa, dari pelosok desa di pucuk gunung hingga perkotaan. Ia adalah kekuatan besar sebagai modal yang mengandung spirit nasionalisme. Ironisnya, tak satu pun orang menyadari bahwa sepak bola menjadi celah terjadinya imperialisme bahasa, yang tidak tertutup kemungkinan akan mengubah spirit nasionalisme menjadi fanatisme berlebihan yang berujung pada tindak kekerasan. Fenomena tersebut tampak pada seringnya sepak bola diwarnai perkelahian antarpenonton, antarpemain, bahkan perseteruan antar-elite pengurus organisasi sepak bola nasional karena saling berebut kepentingan.

    Tulisan ini telah dimuat di Koran Tempo, 22 Januari 2011