Selasa, 08 Februari 2011

Imperialisme Bahasa dalam Sepak Bola

Opini

  • Sumarno,
    AKTIVIS KOALISI PENDIDIKAN Sepak bola mampu membangkitkan semangat nasionalisme. Antusiasme masyarakat dalam mendukung tim nasional selama laga Piala ASEAN Football Federation (AFF) 2010 menunjukkan bentuk nasionalisme di saat bangsa tanpa memiliki suatu kebanggaan.

    Euforia masyarakat Indonesia mendukung timnas pada Piala AFF masih diwarnai oleh hal-hal kontroversi. Pertama, masalah kepengurusan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia, induk organisasi sepak bola nasional. Kedua, soal naturalisasi beberapa pemain asing. Dua hal yang bersinggungan dengan persatuan dan kesatuan serta nasionalisme bangsa.

    Namun ada satu hal yang terlupakan dan seolah tidak disadari, yaitu mengenai bahasa. Persoalan bahasa tercecer di kancah persepakbolaan nasional. Lalu apakah hubungannya antara bahasa dan sepak bola? Indonesia, di samping memiliki kekayaan budaya, di antaranya berupa keanekaragaman bahasa daerah, mempunyai bahasa nasional yang merupakan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia. Selain fungsi utamanya sebagai sarana komunikasi, sebagaimana sepak bola, bahasa nasional merupakan pemersatu dan simbol nasionalisme bangsa. Tentu di samping simbol-simbol lain.

    Bahasa juga merupakan bentuk kebudayaan sebagai cermin jati diri bangsa. Kenyataannya, dalam kancah persepakbolaan nasional bukan hanya dibanjiri oleh pelatih dan pemain asing, tapi banyak pula menggunakan istilah asing, terutama bahasa Inggris. Penggunaan istilah atau bahasa asing baik oleh penyelenggara, media massa yang meliput, kelompok suporter, maupun tim-tim sepak bola itu sendiri. Sebuah televisi swasta yang berlangganan menyiarkan pertandingan Liga Super Indonesia (LSI), misalnya, walaupun siarannya berbahasa Indonesia, pembawa acaranya selalu menyebut pelatih dengan istilah coach.

    Musim kompetisi 2010/2011, di Indonesia setidaknya terdapat tiga kompetisi sepak bola berskala nasional, yakni Divisi Utama Liga Indonesia, LSI, dan Liga Primer Indonesia (LPI). Jika mencermati nama-nama klub sepak bola peserta pada ketiga kompetisi itu, dari 39 klub dalam Divisi Utama Liga Indonesia semua menggunakan bahasa Indonesia. Dari 18 klub LSI, dua di antaranya menggunakan istilah asing atau bahasa Inggris, yakni Sriwijaya Football Club dan Bontang Football Club. Football club biasa disingkat FC.
    Adapun di LPI lebih banyak lagi. Dari 19 klub peserta kompetisi, 10 di antaranya menggunakan nama bahasa asing. Kesepuluh klub sepak bola itu adalah Aceh United, Bali Devata, Bandung FC, Batavia Union, Cendrawasih FC, Ksatria XI Solo FC, Manado United, Medan Chiefs, Real Mataram, Semarang United, dan Tangerang Wolves.

    LPI disebut-sebut kompetisi yang dikelola lebih profesional daripada dua kompetisi nasional lainnya dan punya kumpulan klub yang lebih profesional pula. Sudah menjadi anggapan umum bahwa yang berbau asing dianggap lebih hebat, lebih profesional. Penggunaan istilah asing dianggap lebih membanggakan dibanding istilah dalam bahasa Indonesia.

    Ada pendapat; kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme sebagai penyebab suatu bahasa bisa mendunia. Pendapat tersebut sesuai dengan fakta sejarah bahwa negara seperti Jerman, Jepang, Prancis, dan Inggris adalah negara-negara yang terlibat dalam Perang Dunia II dan mereka melakukan ekspansi atau penyerangan terhadap beberapa negara lain.

    Dalam kajian tentang bahasa, bahasa itu sendiri bukan domain dari faktor-faktor lain, melainkan faktor yang berdiri sendiri, sehingga timbul istilah imperialisme linguistik. Dalam bukunya, Linguistic Imperialism, Giles dan Middleton (1999) mendefinisikan imperialisme linguistik sebagai suatu bentuk kolonialisme yang terjadi melalui media bahasa, ketika bahasa mayoritas menjajah bahasa minoritas.

    Dampak imperialisme linguistik sangat hebat, terutama bahasa Inggris memegang hegemoni dunia dewasa ini. Pemerintahan Soeharto pada suatu saat pernah melarang pemberian nama perusahaan atau kompleks perumahan menggunakan bahasa asing. Akibatnya, terjadi upaya penggantian papan nama di setiap perusahaan atau perumahan. Misalnya perumahan Modern Land diganti menjadi Kota Modern, bukan Tanah Modern atau Daratan Modern. Kata "modern", jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II cetakan kesepuluh (1999), memiliki padanan, yaitu terbaru atau mutakhir.

    Namun kini, karena tidak ada pelarangan penggunaan bahasa asing, penggunaan bahasa Inggris masuk ke berbagai lini. Nama perusahaan, gedung-gedung perkantoran, perumahan, pusat belanja, hotel, dan restoran nyaris semua menggunakan bahasa Inggris. Tak terkecuali dalam dunia sepak bola, seperti nama-nama klub sepak bola nasional di berbagai daerah yang tersebut di atas.

    Bukan sekadar nama
    Bukan hanya nama, penggunaan bahasa Inggris merambah pada aktivitas di dalamnya. Di restoran, daftar menu yang disodorkan menggunakan bahasa Inggris. Kalau menyebut menu asing mungkin maklum, bisa jadi tidak ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Untuk menyebut jenis minuman yang sudah familiar di kalangan masyarakat Indonesia pun menggunakan bahasa Inggris.

    Demikian pula dalam persepakbolaan nasional. Tendangan pojok atau tendangan penjuru di Indonesia sering disebut dengan corner kick, tendangan bebas dengan istilah free kick, pelatih biasa disebut coach. Memang, tak beda dengan seni, olahraga, khususnya sepak bola, bersifat universal, mampu menembus batas wilayah dan sekat-sekat perbedaan suku bangsa, ras, dan agama.

    Dalam sejarahnya, sepak bola mampu mempertemukan berbagai bangsa dalam suatu event yang besar. Namun, manakala nama-nama klub sepak bola yang notabene klub daerah yang lahir di wilayah Indonesia beramai-ramai menggunakan bahasa asing, sesungguhnya mereka telah terjebak dalam imperialisme bahasa. Imperialisme bahasa telah merasuk ke berbagai sendi kehidupan, dari politik, ekonomi, pendidikan, sampai olahraga sepak bola.

    Sepak bola di Tanah Air dikenal sebagai olahraga paling merakyat, digandrungi masyarakat dari anak-anak hingga orang dewasa, dari pelosok desa di pucuk gunung hingga perkotaan. Ia adalah kekuatan besar sebagai modal yang mengandung spirit nasionalisme. Ironisnya, tak satu pun orang menyadari bahwa sepak bola menjadi celah terjadinya imperialisme bahasa, yang tidak tertutup kemungkinan akan mengubah spirit nasionalisme menjadi fanatisme berlebihan yang berujung pada tindak kekerasan. Fenomena tersebut tampak pada seringnya sepak bola diwarnai perkelahian antarpenonton, antarpemain, bahkan perseteruan antar-elite pengurus organisasi sepak bola nasional karena saling berebut kepentingan.

    Tulisan ini telah dimuat di Koran Tempo, 22 Januari 2011 

  • Tidak ada komentar:

    Posting Komentar